Senin, 28 Maret 2016
Berlangganan

Biografi KH Hasyim Asy'ari - Pendiri Nahdlatul Ulama (NU)

 Biasa disebut KH Hasyim Ashari beliau dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 alias menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur dan beliau kemudian tutup usia pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng, Jombang, KH Hasyim Asy'ari adalah pendiri Nahdlatul Ulama yaitu suatu  organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. KH Hasyim Asyari adalah putra dari pasangan Kyai Asyari dan Halimah, Ayahnya Kyai Ashari adalah seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH Hasyim Ashari adalah anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH Hasyim Ashari adalah keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). dari Ayah dan Ibunya KH Hasyim Ashari mendapat pendidikan dan kualitas-kualitas dasar Islam yang kokoh.

Biografi KH Hasyim Asy'ari
Sejak anak-anak, Talenta  kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Ashari terbukti telah nampak. Di antara kawan sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia telah menolong ayahnya membimbing santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan beberapa ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.

KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di beberapa pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.Nir  lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diharapkan.

Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Lumayan lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat terhadap pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berusia 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub.Nir  lama seusai menikah, Hasyim bersama istrinya pergi ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, setelah istri dan anaknya meninggal.

 Tahun 1893, ia pergi lagi ke TanahKudus . Sejak itulah ia menetap di Mekkah selagi 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid AbbasHarta benda iki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi..(Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim membimbing di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman.Nir  lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang berhasil. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia mengecek sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, logam dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim mengnasibi keluarga dan pesantrennya.

Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, tidak lebih lebih 1 km. Di sana beliau membangun suatu  bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim membimbing dan salat berjamaah di tratak tahap depan, sedangkan tratak tahap belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.

Seusai dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali  wajib kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka telah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.

Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat jadi Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.

Pernah terjadi obrolan yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya terbukti membimbing Tuan. Tapi kali ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini terkenal dipanggil. Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Baginda Guru bakal mengucapkan kata-kata yang demikian.Nir kah Baginda Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Baginda sendiri, murid Baginda Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, bakal tetap menjadi murid Baginda Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa senang, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kita telah tetap, tiada bisa ditawar dan diubah lagi, bahwa kita bakal turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru terhadap Tuan,” katanya. Sebab telah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain tidak hanya menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, sebab hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu tidak sedikit terjadi. Tetapi yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak.

Keduanya menunjukkan bagusdahan hati dan saling menghormati, dua faktor yangSekarang  terus susah ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal sempat berguru terhadap pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.

Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tidak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin paling atas NU, yang punya pengaruh sangat kuat terhadap kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya.Spesifik nya, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selagi sebulan suntuk. Kajian itu sanggup menyedot perhatian ummat Islam. Maka tidak heran bila pesertanya datang dari beberapa daerah di Indonesia, tergolong mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu terhadap Kyai Hasyim. Seusai lulus dari Tebuireng, tidak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas.

KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang sempat menjadi santri Kyai Hasyim.Nir  pelak lagi pada abad 20 Tebuireng adalah pesantren terbesar dan terpenting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura.Nir  heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) terhadap Kyai Hasyim.

Sebab pengaruhnya yang demikian kuat itu, kehadiran Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia sempat dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membikin Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, sebab perlawanan gigih melawan penjajah timbul di mana-mana.

Kedua, Kyai Hasyim juga sempat mengharamkan naik haji menggunakan kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama dengan cara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Sebab tidak sedikit ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

Tetapi sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942.Nir  jelas argumen Jepang meringkus Kyai Hasyim. Mungkin, sebab sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya terhadap gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan terus represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia.

Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tidak luput dari target represif Belanda. Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membikin keonaran di Tebuireng. Tetapi dirinya tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.

Momen ini dikegunaaankan oleh Belanda untuk meringkus Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, sanggup menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan tutorial adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu.

Dampaknya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan dan dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berjalan hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an. Di bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah terhadap Jepang di Kalijati, dekat Bandung, jadi dengan cara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.

Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam.Nir  sama dengan Belanda yang represif terhadap Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk mendapatkan dukungan para pemimpin Muslim.Keliru satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini diperbuat sebab Kyai Hasyim menolak meperbuat seikerei. Yaitu keharusan berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan terhadap Kaisar Hirohito dan ketaatan terhadap Dewa  Mentari (Amaterasu Omikami).

Aktivitas ini juga  wajib diperbuat oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan alias melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang  wajib disembah, bukan manusia. Dampaknya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan dengan cara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya.

Sebab loyalitas dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selagi dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami tidak sedikit penyiksaan fisik jadi salah satu jari tangannya menjadi patah tidak bisa digerakkan. Seusai penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengdampakkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh,  wajib mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.

 Lepas18 Agustus 1942, seusai 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang sebab tidak sedikitnya protes dari para Kyai dan santri.Nir  hanya itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkah usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, khususnya Saikoo Sikikan di Jakarta.

 Lepas22 Oktober 1945, ketika tentara NICA
(Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha meperbuat penyerangan ke tanah Jawa (Surabaya) dengan argumen mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan perpaduan NICA dan Inggris tersebut.

Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Dampaknya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan mengangkat senjata seadanya untuk melawan pasukan perpaduan NICA dan Inggris. Momen 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi).

Pembentukan Masyumi adalah salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari beberapa faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (KetuaGenerik ) pertama periode tahun 1945-1947. Selagi masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan semacam GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk terhadap Kyai Hasyim.

Performanya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudh At Tarmisi di Mekkah. Selagi 7 tahun Hasyim berguru terhadap Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu terhadap Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabau. Terhadap dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebetulnya tunggal guru. Yang butuh ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam.

Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah luar biasa perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Tergolong Hasyim pasti saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengundang ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebetulnya bukan berasal dari Islam.

Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kenasiban modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kenasiban modern pertama dimaksudkan supaya supaya Islam bisa memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan argumen inilah Abduh melancarkan ide supaya ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka terhadap pola pikiran para mazhab dan supaya ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.

Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, mesikipun ia tidak sama dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah.Nir  demikian dengan Hasyim. Ia sebetulnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh supaya ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab.

Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebetulnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mendalami pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mendalami dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya bakal menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebetulnya, demikian tulis Dhofier. Dalam faktor tarekat, Hasyim tidak berpendapat bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bermengenaian dengan aliran Islam.

Hanya, ia beramanat supaya ummat Islam berhati-hati bila memasuki kenasiban tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (tidak jarang disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, tidak jarang disebut kelompok modernis) itu terbukti kerap tidak terelakkan.

Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari beberapa kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah. Sebab tekad golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab supaya tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah hingga para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz.

Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas memberi tau tekad kelompok tradisional terhadap penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama. Seusai NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya.

Ia juga sempat memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang sempat ada di Indonesia. Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melewati jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 timbul suatu  gerakan yang saat ini disebutMobilitas an Kebangkitan Nasional.

Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, jadi muncullah beberapa organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri alias Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudsupaya).  Perkumpulanitu dijadikan basis untuk membenahi perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi dan lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan mempunyai cabang di beberapa kota.

Tokoh mutlak dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh.  Grupini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam persoalan keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik. Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dirinya juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selagi ini tidak sedikit diziarahi kaum Muslimin, sebab dianggap bid’ah.

Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis semacam Muhammadiyah di bawah ceo Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah ceo H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak dengan argumen itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan kebudayaaan itu. Dampaknya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam dan tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang bakal mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh semangat untuk menciptakan keleluasaan bermadzhab dan rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membikin delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya.

Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari beberapa penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, jadi rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam leluasa melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan keleluasaan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan kebudayaaan yang sangat berharga.Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan suatu  organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah. Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin bertemu dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.

Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengenal apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk memberi tau suatu  tasbih terhadap Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani supaya setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 terhadap Kyai Hasyim.

Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya bakal tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata. Waktu terus berjalan, bakal tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim tetap menantikan kemantapan hati. Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk memberi tau tasbih ini,” ucap pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya.

Tangan As’ad belum sempat menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng benar-benar jauh dan tidak sedikit rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selagi dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia mempunyai prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga  wajib Kyai”.

Inilah salah satu sikap ketaatan santri terhadap sang guru. ”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Kehadiran As’ad yang kedua ini membikin hati Kyai Hasyim terus mantap. Hadratus Syaikh meringkus isyarat bahwa gurunya tidak keberatan apabila ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melewati salat istikharah.

Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil telah meninggal dunia terlebih dahulu. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut dengan cara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anak buah terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hinggaSekarang ) dalam dunia Islam tersedia permengenaian faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain berfungsi memurnikan kembali aliran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kenasiban modern.

Dengan ini Abduh melancarakan ide supaya umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, tidak sedikit di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah.

Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melewati organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912). Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali aliran Islam, bakal tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat susah memahami maksud Al Quran alias Hadits tanpa mendalami kitab-kitab para ulama madzhab.

Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini mendapatkan dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melewati pendirian Nahdlatul Ulama’ ini. Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya Kyai Wahid Hasyim, diangkat sebagai ceonya (periode tahun 1937-1942).

Sumber :Biografiku ,com