Senin, 28 Maret 2016
Berlangganan

Hati-Hati dengan Doa Orang Terzalimi

BAITSALMAQDIS - Umat Islam kembali dizalimi. Di bulan Maret ini telah terjadi kezaliman keji yang menimpa salah seorang imam masjid di Klaten. Sontak, kejadian ini memicu kemarahan dan kegeraman umat Islam Nusantara. Tak hanya di Surakarta, di beberapa kota besar lainnya  seperti Surabaya, Yogyakarta bergema suara umat Islam menuntut pembubaran Densus 88 yang dinilai zalim terhadap Islam.
Bentuk solidaritas kita sebagai saudara seiman sangatlah diperlukan. Segala bentuk kezaliman harus segera dihentikan. Mengapa kezaliman harus segera di hentikan? Karena Allah telah mengharamkan kezaliman atas diri-Nya dan atas para hambanya. Awal kezaliman itu tidak baik dan akhirnya berakibat buruk. Ia merupakan sumber segala kejahatan dan pangkal segala keburukan.
Adapun batasan kezaliman adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Ini merupakan bentuk penyelewengan dari keadilan. Tatkala kezaliman telah menyebar di tengah-tengah umat, ia akan membinasakannya. Jika telah menimpa suatu negeri, ia akan menghancurkannya.
Kezaliman dan kerusakan merupakan dua teman sejawat. Lantaran keduanya, negeri-negeri akan hancur, kota-kota akan runtuh, dan keberkahan akan hilang. Kezaliman merupakan kegelapan yang dapat menggelincirkan kaki-kaki dalam kegulitaannya dan dapat menyesatkan akal.
Peringatan Al-Quran kepada orang Zalim
Kata zalim (azh-zhulmu) dengan beragam perubahan bentuknya telah disebutkan di dalam Al-Qur‘an sekitar 280 kali. Kesemuanya memperingatkan terhadap kezaliman, mengancam orang-orang zalim, menjelaskan tempat kembali mereka, serta menyingkap penyesalan orang zalim pada hari kiamat.
Allah SWT berfirman:
“(kepada Malaikat diperintahkan), ‘Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah, selain Allah. Maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka’.” (Ash-Shâffât: 22-23).
Binasanya penduduk negeri, juga disebabkan kezaliman mereka. Allah berfirman:
“Dan begitulah azab Rabbmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.” (Hûd: 102).
Allah memberi tangguh azab bagi orang yang zalim, bukan mengabaikannya. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.” (Ibrâhîm: 42).
Ayat-ayat yang memperingatkan terhadap kezaliman dan menjelaskan akibat buruknya sangat banyak sekali. Hal ini memberikan peringatan bagi kita untuk tidak berbuat zalim dan tidak boleh membiarkan kezaliman merajalela.
Rasulullah saw juga pernah memberikan peringatan terhadap kezaliman dalam hadits dari Abdullah bin Umar radhiallahuanhuma
الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Kezaliman adalah kegelapan hari kiamat.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Abu Musa Al-Asy‘ari r.a.  dalam hadits Al-Bukhari dan  Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ
“Sesungguhnya Allah memberi tangguh (waktu) bagi orang yang zalim. Hingga jika Dia mengazabnya, dia tidak bisa meloloskan diri.”
Balasan bagi orang yang zalim
Salah satu bentuk kezaliman adalah kezaliman seorang hamba terhadap yang lainnya.Kezaliman antar sesama hamba adalah suatu hal yang diharamkan. Begitu pula, berlaku zalim atas hak orang lain adalah suatu yang dilarang. Di antara keadilan Allah adalah Dia akan mengambil kembali hak orang yang dizalimi dari orang zalim, bahkan yang terjadi antar sesama hewan. Rasulullah saw bersabda:
لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ الْقَرْنَاءِ
“Pada hari kiamat, hak-hak benar-benar akan ditunaikan kepada pemiliknya, sampai-sampai akan dibalaskan untuk seekor domba yang tak bertanduk atas perbuatan domba yang bertanduk.” (HR Muslim).
Siapa yang menganiaya orang lain dengan pukulan, pada hari kiamat ia akan diqishas karenanya.
Al-Bukhari meriwayatkan dalam Al-Adab Al-Mufrad, dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan, bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَنَ ضَرَبَ بِسَوْطٍ ظُلْمًا اقْتَصَّ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang memukul (seseorang) dengan cemeti secara zalim, pada hari kiamat akan diambil qishasnya darinya.”  (Dishahihkan oleh Al-Albani).
Bayangkan, jika seseorang menganiaya kemudian diqishas dengan yang serupa di hari kiamat nanti. Bagaimana jika kezaliman itu hingga  menghilangkan nyawa? Tentu lebih mengerikan balasan di akhirat nanti.
Hati-hati dengan Doa Orang  Terzalimi
Doa adalah senjata ampuh yang digunakan seorang muslim untuk meraih kebaikan atau menolak madharat dengan izin Allah SWT. Seorang muslim hendaknya senantiasa berhubungan dengan Rabb-nya dalam kondisi lapang, sempit, senang, susah, mudah, dan sulit. Memohon pertolongan Allah berarti lari menuju kepada-Nya, mengarah kepada-Nya, dan terikatnya hati dengan-Nya. Memohon bantuan dari-Nya berarti permohonan pertolongan dari zat yang lemah kepada Zat yang Maha-agung.

Orang yang dizalimi kehormatan, harta, jiwa, agama, atau salah satu hak dari hak-haknya adalah salah satu golongan yang doanya tidak ditolak.
Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
اِتَّقُوْا دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهَا تُصْعَدُ إِليَ السَّمَاءِ كَأَنَّهَا شَرَارَةٌ
“Waspadailah doa orang yang dizalimi, sebab ia akan diangkat naik ke langit seakan-akan bagai percikan bunga api.” (Hadits shahih).
Dalam hadits lain yang dari Anas bin Malik dan diriwayatkan Ahmad disebutkan bahwa tidak ada penghalang doa orang yang terdzlimi untuk diterima Allah. Ini merupakan sebuah bentuk peringatan bagi orang-orang yang zalim dan para pendukung kezaliman. Karena doa-doa mereka mustajab dan akan dikabulkan Allah dalam sekejab.
Doa orang yang terdzalimi
Tentang kisah Abu Ma ‘liq ra, diceritakan bahwa dahulu ia adalah seorang pedagang yang berniaga dengan hartanya. Dia adalah seorang yang ahli ibadah dan wara‘. Suatu saat ia keluar berdagang kemudian bertemu seorang perampok bertopeng dan membawa senjata.
“Letakkan barang-barangmu, sebab aku akan membunuhmu!”perintah si perampok.
“Ambilah hartaku!,” jawabnya.
Aku hanya menghendaki darahmu,” lanjut si perampok.
“Beri kesempatan aku untuk shalat,” pintanya.
Si perampok pun berkata, “Shalatlah seperlumu.”
Lalu ia pun berwudhu dan shalat.
Dalam sujud terakhir pada rekaat keempat, ia berdoa:
يَا وَدُوْدَ يَا ذَا الْعَرْشِ الْمَجِيْدُ يَا فَعَّالاَ لِّمَا يُرِيْدُ أَسْأَلُكَ بِعِزَّتِكَ الَّتِيْ لاَ تُرَامُ وَبِمُلْكِكَ الَّذِيْ لاَ يُضَامُ وَبِنُوْرِكَ الَّذِيْ مَلَأَ أَرْكَانَ عَرْشِكَ أَنْ تَكْفِيْنِيْ شَرَّ هَذَا اللِّصَّ ياَ مُغِيْثُ أَغِثْنِيْ
“Wahai Zat Yang dicintai, wahai Pemilik Arsy yang Maha Terpuji, wahai Yang Mahakuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya, aku memohon-Mu dengan kemuliaan-Mu yang tak tertandingi, dengan kekuasaan-Mu yang takkan dizalimi, dan dengan cahaya-Mu yang memenuhi  rukun-rukun Arsy-Mu, agar Engkau menyelamatkanku dari kejahatan perampok ini. Wahai Yang Maha Memberi pertolongan, tolonglah aku!”
Ia membacanya tiga kali.
Tiba-tiba muncul penunggang kuda dari sampingnya dengan membawa tombak pendek yang ditenteng di antara kedua telinga kuda, lalu ia menikam si perampok dan membunuhnya. Ia kemudian mendekati Abu Ma‘liq.
“Siapa engkau wahai orang yang Allah telah menolongku dengan perantaanmu?” tanya Abu Ma‘liq.
Orang itu menjawab, “Aku adalah salah satu malaikat dari malaikat-malaikat langit keempat. Ketika engkau berdoa dengan doa pertama, aku mendengar suara gemuruh pintu-pintu langit—yakni terbuka untuk menyambut doamu. Ketika engkau berdoa dengan doa kedua, aku mendengar suara gaduh penduduk langit—yakni mereka mengamini doamu. Ketika engkau berdoa dengan doa ketiga, ada yang berkata, ’Ini doa orang yang sedang dalam kesulitan.’ Lalu, aku pun memohon kepada Allah agar memberi kuasa kepadaku untuk membunuh si perampok’.”
Al-Hasan berkata, “Siapa yang berwudhu kemudian shalat empat rekaat dan berdoa dengan doa di atas, maka Allah akan mengabulkan doa tersebut, baik ia sedang dalam kesulitan maupun tidak dalam kesulitan.”.[1]
Ya Allah, Jangan Pertemukan Kami dengannya
Pada masa Al-Ma‘mun bin Harun Ar-Rasyid, merebak sebuah fitnah besar yang menimbulkan malapetaka, sehingga mayoritas manusia terfitnah olehnya. Tidak ada yang bisa bersikap teguh, kecuali pemilik keikhlasan dan kejujuran, yang telah menadzarkan kehidupan mereka untuk Allah SWT semata. Mereka hidup demi negeri akhirat dan zuhud di dunia.
Pada tahun 218 Hijriyah, Al-Ma‘mun menulis surat kepada seorang wakilnya di Baghdad agar menguji para hakim dan ahli hadits dengan perkataan, “Bahwa Al-Qur‘an adalah makhluk,” dan agar sekelompok dari mereka di kirimkan  kepadanya.
Padahal, yang benar Al-Qur‘an Al-Karim adalah kalamullah (firman Allah), dari-Nyalah ia muncul dan kepada-Nyalah ia akan kembali. Ia bukan makhluk, tapi ia adalah sesuatu yang diturunkan dan dituliskan. Inilah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur‘an ataupun As-Sunnah, dan disepakati oleh Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Namun, Al-Ma‘mun telah terpengaruh oleh ucapan orang-orang Mu‘tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur‘an adalah makhluk. Khalifah menghendaki agar seluruh manusia mengambil perkataan ini, untuk memenangkan pendapatnya dan memuliakan madzhab para pengikutnya.
Khalifah pun memberikan perintah untuk menguji para ulama tersebut satu per satu. Maka, bergoncanglah akidah kebanyakan manusia di hadapan fitnah ini, kecuali  dua imam saja, yakni Ahmad bin hambal dan Muhammad bin Nuh–rahimahumallahu ta‘ala.
Ketika Al-Ma‘mun mengetahui penyelisihan mereka berdua, ia memerintahkan agar membawa dua orang tersebut kepadanya, yang saat itu ada di Thursus, dari Baghdad dalam keadaan terikat. Dua orang tersebut kemudian  diikat dan dinaikkan di atas punggung onta dalam dua karung yang dikirim dari Baghdad menuju khalifah.
Kedua imam tersebut menyerahkan urusan mereka kepada Allah. Mereka mengetahui bahwa ini merupakan fitnah yang menuntut adanya keteguhan dalam menghadapinya, agar kelak ketika mereka menjumpai Rabb-nya, Dia telah ridha terhadap mereka. Selain itu, juga untuk meneguhkan manusia di atas manhaj yang benar.
Ketika telah meninggalkan Baghdad, Imam Ahmad menadahkan kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa kami berdua berangkat menuju Al-Ma‘mun, dan kami tidak menginginkan sesuatu selain kebenaran. Ya Allah, janganlah Engkau pertemukan kami dengannya, dan berilah keputusan antara kami dan dia. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Keduanya berjalan dalam keadaan percaya terhadap pertolongan Allah dan terkabulkannya doanya. Di tengah-tengah perjalanan, sampailah kabar bahwa Al-Ma‘mun telah mati akibat penyakitnya. Allah tidak mempertemukan keduanya dengan Al-Ma‘mun. Keduanya tidak berbicara kepadanya dan Al-Makmun pun tidak berbicara kepada keduanya. Allah telah melindungi keduanya dari kejelekannya hingga keduanya dikembalikan lagi ke Baghdad.
Sebagian manusia meminta Imam Ahmad untuk menyamarkan ucapannya dan menampakkan sesuatu yang berbeda dari apa yang tersembunyi dengan cara tauriyah (menyembunyikan maksud sebenarnya), yang hukumnya diperbolehkan. Yakni, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim, Al-Khalil a.s, ketika beliau berkata,“Sesungguhnya aku ini sedang sakit.”
Demikian pula, sebagaimana tauriyah yang dilakukan Rasulullah saw dalam salah satu peperangan. Yakni, jika beliau hendak menuju ke arah selatan, beliau akan bertanya jalan ke arah utara.
Sebagian penuntut ilmu berkata kepada Imam Ahmad, “Lakukanlah tauriyah dalam perkataan.” Beliau kemudian berkata kepada mereka, ”Keluarlah dan lihatlah dari balik pintu ini. Apa yang kalian lihat, apa yang kalian tunggu, dan apa yang ada di tangan mereka?”
Lalu, mereka pun keluar dan mendapati manusia telah berdesak-desakan di depan pintu sambil membawa pena dan menantikan apa yang akan dikatakan Imam Ahmad kemudian menulisnya. Maka, sebagian penuntut ilmu itu pun menerima alasan beliau.
Dalam fitnah tersebut, beliau mendapat siksaan yang sangat banyak. Namun, hal itu hanya membuat beliau semakin bertambah kesabaran dan pengharapannya terhadap pahala.

Sumber :kiblat ,com