Senin, 28 Maret 2016
Berlangganan

Biografi KH Kholil Bangkalan


Baitsalmaqdis - KH Abdul Lathif, warga Desa Kemayoran, Kecamatan Kota, Bangkalan, merasakan kegembiraan sebab hari itu, Selasa 11 Jumadil Akhir 1235 H alias 27 Januari 1820 M, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, diberi nama Muhammad Kholil, yang nanti bakal populer dengan nama Mbah Kholil.

KH Abdul Lathif sangat berharap anaknya dikemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH Abdul Lathif, memiliki pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kiai Hamim, putra dari Kiai Abdul Karim.

Yang disebut terbaru putra Kiai Muharram bin Kiai Asror Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman cucu Sunan Gunung Jati. Maka tidak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan putranya nanti bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati, sebab terbukti tetap terhitung keturunan.

Mbah Kholil dididik dengan sangat ketat oleh ayahnya. Mbah Kholil kecil terbukti menunjukkan Talenta  yang istimewa, kehausannya bakal ilmu, khususnya ilmu Fiqh dan nahwu. Bahkan ia telah hafal dengan baik Nazham Alfiyah IbnuHarta benda ik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi andalan dan juga kehausannya tentang ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke beberapa pesantren untuk menimba ilmu.

Memulai pengembaraannya, Mbah Kholil muda belajar terhadap Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selagi belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula terhadap Kiai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi.

Kiai Nur Hasan ini, sesungguhnya, tetap memiliki pertalian keluarga dengannya.Jeda  antara Keboncandi dan Sidogiri kurang lebih 7 Kilometer. Tetapi, untuk memperoleh ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tidak sempat lupa membaca Surat Yasin.
Sebetulnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri selagi nyantri terhadap Kyai Nur Hasan, tetapi ada argumen yang lumayan kuat bagi dirinya untuk tetap tinggal di Keboncandi. Mbah Kholil tinggal di Keboncandi supaya bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dirinya memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, semacam Matan Alfiyah IbnuHarta benda ik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau sanggup membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh tutorial membaca Al-Quran).
Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia bercita-cita untuk menimba ilmu ke Makkah. Sebab pada masa itu, belajar ke Makkah adalah cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan cita-citanya hari ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyebutkan niatnya terhadap orangtuanya, apalagi meminta ongkos terhadap orangtua.

Kemudian, seusai Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan keluarnya, akhirnya ia memutuskan untuk berangkat ke suatu  pesantren di Banyuwangi. Sebab, pengasuh pesantren itu populer memiliki kebun kelapa yang lumayan luas. Dan selagi nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dirinya mendapat upah 2,5 sen.

Uang yang diperolehnya tersebut dirinya tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan meperbuat pekerjaan rumah lainnya, dan menjadi juru masak kawan-kawannya. Dari situlah Mbah Kholil bisa makan gratis.

Saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk berangkat ke Makkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, putri Lodra Putih.
Seusai menikah, berangkatlah dirinya ke Mekkah. Dan terbukti benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selagi nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selagi pelayaran, konon Mbah Kholil berpuasa. Faktor tersebut diperbuat Mbah Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, bakal tetapi untuk lebih mendekatkan diri terhadap Allah, supaya perjalanannya selamat.

Di Makkah Mbah Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Makkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).

Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang dipakai orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh dari beberapa madzhab yang membimbing di Masjid Al-Haram. Tetapi kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tidak bisa disembunyikan. Sebab itu, tidak heran kalau kemudian dirinya lebih tidak sedikit mengaji terhadap para Syeikh yang bermadzhab Syafi’i.

Konon, selagi di Makkah, Mbah Kholil lebih tidak sedikit makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak.Empiris  ini bagi kawan-kawannya, lumayan mengherankan.Norma  memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi aliran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.

Sewaktu berada di Makkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar.
Sepulangnya dari Tanah Arab, Mbah Kholil dikenal sebagai seorang pakar Fiqh dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dirinya pun dikenal sebagai salah seorang Kiai yang bisa memadukan kedua faktor itu dengan serasi. Dirinya juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil bisa mendirikan suatu  pesantren di daerah Cengkubuan, Bangkalan.

Tidak sedikit santri yang berdatangan dari desa-desa kurang lebihnya. Tetapi, seusai putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kiai Muntaha, pesantren di Cengkubuan itu kemudian diserahkan terhadap menantunya. Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Demangan, pusat kota. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama.

Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah kurang lebih, tetapi juga dari Tanah Seberang, Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
Hampir ulama besar di Madura dan Jawa adalah murid Kiai Kholil Di segi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai pakar Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang waskita alias weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi).Harta benda ahan dalam faktor yang terbaru ini, nama Mbah Kholil lebih dikenal.
Syekh Kholil wafat pada hari Kamis tanggal 29 Ramadhan 1343 H (1925 M). Jenazah beliau disalatkan di Masjid Agung Bangkalan. Kemudian dimakamkan di Pemakaman Martajasah, Bangkalan.

Berikut Sebagian Murid Dari Syaichona Kholil Bangkalan Madura :
1. KH. Hasyim Asy’ari : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional.
2. KHR. As’ad Syamsul Arifin : Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asemkeren, Situbondo.
3. KH. Wahab Hasbullah: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. Sempat menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 – 1971).
4. KH. Bisri Syamsuri: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.
5. KH. Maksum: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah
6. KH. Bisri Mustofa: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Beliau juga dikenal sebagai mufassir Al Quran. Kitab tafsirnya bisa dibaca hingga sekarang, berjudul “Al-Ibriz” setidak sedikit 3 jilid tebal berhuruf jawa pegon.
7. KH. Muhammad Siddiq: Pendiri, Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember.
8. KH. Muhammad Hasan Genggong : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong. 9. KH. Zaini Mun’im: Pendiri, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
10. KH. Abdullah Mubarok: Pendiri, Pengasuh Pondok , saat ini dikenal juga menampung pengobatan para morphinis.
11. KH. Asy’ari: Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso.
12. KH. Abi Sujak : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep.
13. KH. Ali Wafa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember.
14. KH. Toha : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.
15. KH. Mustofa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan
16. KH Usmuni : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep.
17. KH. Karimullah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.
18. KH. Manaf Abdul Karim : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
19. KH. Munawwir : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
20. KH. Khozin : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.
21. KH. Abdul Hadi : Lamongan.
22. KH. Zainudin : Nganjuk
23. KH. Maksum : Lasem
24. KH. Abdul Fatah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung
25. KH. Zainul Abidin : Kraksan Probolinggo.
26. KH. Munajad : Kertosono
27. KH. Romli Tamim : Rejoso jombang
28. KH. Muhammad Anwar: Pacul Gowang, Jombang
29. KH. Abdul Madjid: Bata-bata, Pamekasan, Madura
30. KH. Abdul Hamid bin Itsbat, banyuwangi
31. KH. Muhammad Thohir jamaluddin : Sumber Gayam, Madura.
32. KH. Zainur Rasyid: Kironggo, Bondowoso
33. KH. Hasan Mustofa: Garut Jawa Barat
34. KH. Raden Fakih Maskumambang: Gresik
35. KH. Sayyid Ali Bafaqih: Pendiri, pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali.
36. KH. Nawawi : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan.


Sumber :pzhgenggong ,or,id